Hari masih sore, tapi makam 
(pesarean) syeikh Ahmad Mutamakkin –masyarakat Kajen, Pati, Jawa Tengah 
lebih akrab menyebutnya mbah Mad- kembali sesak dengan jubelan manusia. 
Satu persatu mulai memasuki pekarangan berukuran 6×14 meter yang lebih 
tampak seperti bangunan masjid itu. Setelah sebelumnya mengambil air 
wudlu di tempat yang tersedia, para pengunjung segera mengambil kitab 
Alquran, mulai duduk hikmad, secara lirih melantunkan bacaan ayat demi 
ayat sampai rampung. Tapi, tidak sedikit pula yang benar-benar 
menghabiskan satu hari satu malam tafakkur, ngaji, dan bertawassul di 
tempat itu. Pemandangan seperti ini memang biasa disaksikan di pesarean 
Mutamakkin atau mungkin juga di tempat-tempat lain yang dianggap 
memiliki sejarah dan nilai karomah tertentu. Datang silih berganti, 
laki-laki dan perempuan yang mengaku dari berbagai pelosok Pati dan 
sekitarnya itu memang sengaja menyempatkan diri sowan, ziarah, kirim 
doa, atau bermunajat di hadapan makam sang syeikh. Biasanya, para 
peziarah mulai berdatangan pada Kamis siang dan berakhir pada Jum’at 
sore. Meskipun makam tersebut disinyalir sudah berumur + 200 tahun, 
tetapi sawaban, keramat, dan pesona kesucian yang terpancar dari sosok 
Ahmad Mutamakkin masih dirasakan sampai sekarang. Bahkan, makam yang 
berdekatan dengan Madrasah Mathali’ul Falah pimpinan KH Sahal Mahfudz 
itu pun dijadikan oleh para santri (laki-laki) sebagai tempat untuk 
berkhalwat, nyepi, dan menghafal Alquran. “Di sini lebih nyaman dan 
lebih tenang. Jadi bisa konsentrasi untuk ngapalin Alquran, Mas,” ujar 
Muhammad Ihsan (14 tahun), santri Mathali’ul Falah. 
Tampaknya,
 fenomena makam ulama asal Cebolek tersebut semakin jelas memangkirkan 
asumsi dan/atau bayangan tentang pada umumnya makam yang identik dengan 
nuansa seram, angker, dan menakutkan. Santri, masyarakat sekitar, dan 
tamu peziarah justru menjadikannya sebagai ajang untuk memohon sesuatu 
kepada Sang Khalik justru melalui perantaraan (wasilah) jasad beku 
Mutamakkin. “Ya, seminggu sekali, khususnya malam Jum’at saya hampir 
pasti ke sini. Kadang-kadang sendiri, tapi sering juga dengan 
teman-teman yang lain. Saya ngaji beberapa ayat, setelah itu berdoa. 
Mbah Mad itu kan waliyullah, punya karomah. Jadi melalui doa itu 
mudah-mudahan kita juga mendapat berkah,” ujar Suseno (44 tahun), salah 
satu warga Kayen, Pati Selatan. 
Selain
 makam, tempat lain yang juga dijadikan tempat perenungan dan berkhalwat
 adalah Masjid Ahmad Mutamakkin, 100 m ke arah timur dari makam beliau. 
Masjid kuno –konon usianya + 250 tahun- yang saat ini lebih popular 
disebut dengan masjid jami’ Kajen ini juga menjadi tempat bertujunya 
para peziarah dari berbagai tempat. Di dalam masjid terdapat beberapa 
bagian bangunan seperti mimbar, dairoh (langit-langit dalam masjid), 
papan bersurat di samping tempat pengimaman shalat, dan palang pintu 
masjid yang diyakini hasil kreasi Ahmad Mutamakkin. Dan beberapa kreasi 
Mutamakkin itu banyak dimaknai orang sebagai karya yang memiliki nilai 
filosofis yang tinggi. Misalnya, di mimbar terdapat ornamen, ukir-ukiran
 dengan salah satunya bentuknya adalah bulan sabit yang dipatuk burung 
bangau. Motif ini dimaknai sebagai semangat dan doa Mutamakkin terhadap 
keturunannya (termasuk keturunan simbolis/penerus perjuangannya) akan 
bisa mencapai cita-cita mulia. Lalu terdapat ukiran bunga yang tumbuh 
dari tunas sampai mekar yang juga diyakini masyarakat sekitar sebagai 
doa pencapaian khusnul khatimah bagi keturunannya, sebagaimana terdapat 
dalam papan bersurat “sing penditku ngusap jidatku”, yang termasuk 
keturunanku, mengusap jidatku (Bizawie, 2002: 107).
Di
 samping itu, masih terdapat sumur yang juga diyakini sebagai sumurnya 
Mutamakkin. Sumur ini terletak sekitar 2 km sebelah timur dari Kajen, 
tepatnya masuk ke dalam desa Bulumanis. Sumur ini tidak pernah kering 
dan masyarakat sekitar sangat yakin bahwa air sumur tersebut bisa 
mengobati beberapa penyakit. 
Tentu,
 selain adanya pondok pesantren –di Kajen terdapat sekitar 35 pondok 
pesantren dan 4 madrasah- tempat-tempat inilah yang telah membuat 
ratusan bahkan ribuan orang datang ke Kajen. Apalagi, setiap tahun pada 
tanggal 10 Suro (Muharram) makam Ahmad Mutamakkin bisa dipastikan penuh 
dengan ribuan peziarah karena tanggal ini telah ditetapkan sebagai haul 
(peringatan tahunan) Mutamakkin. Pak Sholeh (37 tahun), juru makam 
Mutamakkin menuturkan bahwa pada tanggal tersebut, tidak ada tempat 
sedikit pun yang longgar dari pengunjung. “Wah, jumlahnya bisa sampai 
10.000 orang. Makanya seluruh tempat makam sampai ke ujung jalan Kajen 
ini sesak oleh peziarah, Mas,” tutur kuncen muda ini. Salah satu 
fenomena menarik yang selalu menjadi rutinitas ritual haul adalah adanya
 momen khusus dimana kain putih penutup makam Mutamakkin dilelang secara
 umum. Keseluruhan kain yang diyakini mengandung kekuatan magis ini 
pernah dijual sampai menghasilkan uang sebanyak 70 juta rupiah. 
“Sepertinya yang kebanyakan membeli kain itu para nelayan karena mereka 
sangat yakin kalau perahunya itu ditempeli kain itu, rata-rata 
penghasilan ikannya banyak terus,” tutur Pak Sholeh. 
Memang
 satu hal yang bisa dibaca dari efek haul seperti itu adalah penciptaan 
kontinuitas pesona mitis yang diharapkan akan selalu diingat oleh siapa 
pun yang datang ke pesarean Mutamakkin. Haul dikonstruksi sedemikain 
rupa –entah sadar atau tidak- bertujuan untuk menghadirkan daya linuwih 
yang dimiliki oleh tokoh yang sudah meninggal sekaligus untuk 
melegitimasi kekuasaan para keturunannya. Dalam konteks ini, fenomena 
jubelan ratusan bahkan ribuan orang itu mungkin dan hanya mungkin 
terjadi karena masyarakat melihat adanya sesuatu yang masih patut dipuja
 sebagai panutan yang memiliki kelebihan, karomah, dan berkah. Persoalan
 bahwa apakah kirim doa itu mengharuskan para peziarah untuk menengok 
terlebih dahulu ke belakang, ke sebuah masa dimana Mutamakkin melakukan 
gerakan kultural keagamaan di Kajen bukanlah hal utama. Peziarah juga 
tidak terlalu penting untuk melihat bahwa Ahmad Mutamakkin pernah 
diceritakan oleh Raden Ngabehi Yasadipura I sebagai sosok yang 
menyebarkan ajaran “sesat,” menggaungkan konsep manunggaling kawula lan 
gusti ala Siti Jenar atau seperti hulul ala al-Hallaj, layaknya 
“penyimpangan syariah” yang dilakukan Sunan Panggung, Ki Ageng Pengging,
 dan Syeikh Amongraga. Mungkin seperti itulah fenomena Mutamakkin yang 
juga disambut oleh Ketib Anom Kudus sebagai pembelokan syariat yang 
membahayakan publik. Bagi peziarah, terdapat hal lain yang lebih penting
 dari persinggahan di depan makam adalah bagaimana bisa merasakan 
kehadiran Mutamakkin dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya sebagai 
sosok tetapi juga sebagai tokoh penyebar Islam pertama di Kajen dan 
penghubung antara keinginan masyarakat dengan Tuhan.
Di samping itu, endapan benak mayoritas masyarakat Kajen meyakini 
bahwa perdebatan Mutamakkin dengan Ketib Anom itu pun pada hakikatnya 
bukan dimenangkan oleh ulama asal Kudus itu, melainkan oleh Mutamakkin 
sendiri. “Lho, mbah Mad itu kan ilmunya sudah mencapai tahap tinggi, 
jadi Ketib Anom itu tidak bisa memahami ungkapan-ungkapan mbah Mad lalu 
diisukan kalau mbah Mad itu tidak bisa apa-apa. Maklum, Ketib Anom itu 
kan tingkatannya masih syari’at, jadi kalah kuat kalau harus berhadapan 
dengan mbah Mad,” demikian tutur pak Sholeh. “Wah tidak benar kalau mbah
 Mad itu menyebarkan ajaran manunggaling kawula lan gusti atau ajaran 
sesat lain, anti syariat, atau apa itu. Masjidnya itu kan bisa jadi 
bukti bahwa beliau juga menjalankan syariat, karena di masjid itulah 
beliau melaksanakan shalat dhuha, shalat jumat, dan shalat fardlu yang 
lain,” tandasnya kemudian.
seperti
 pembelajarannya yang mumpuni menguasai serat Dalam pandangan pak Sholeh
 perdebatan Mutamakkin dengan Ketib Anom Kudus merupakan cermin dari 
ketidakrelaan kelompok agama pembela keraton melihat tingkah laku 
Mutamakkin yang nyeleneh, tidak patuh pada raja, sampai dianggap fasik 
karena memelihara duabelas anjing. Mungkin persoalannya bukan hanya 
sebatas itu. Keunggulan Mutamakkin, seperti diceritakan oleh pak Sholeh,
 adalah kemampuannya untuk mengawinkan ajaran kejawenDewaruci dengan 
ajaran Islam Timur Tengah, sebuah laku kreatif untuk menghidupkan ajaran
 lokal di samping ajaran Islam Arab. Dengan kata lain, tidak mudah bagi 
Ketib Anom untuk menyaksikan kemungkinan terjadinya peleburan Islam 
dengan lokalitas yang ia anggap akan berakibat pada penodaan terhadap 
ajaran Islam yang “murni.” Maklum, Ketib Anom atau juga ulama lain yang 
berafiliasi ke keraton waktu itu merasa sebagai penanggungjawab dan 
pengatur persoalan kehidupan sosial, politik, budaya, dan agama. Ketib 
Anom selalu ingin agar Alquran dan Hadis menjadi ideologi, ujung tombak 
dakwah yang menuntut untuk dilakoni sepersis mungkin. Sementara 
kemampuan Mutamakkin melatih diri secara personal terhadap ajaran 
tasawuf sebagai pengalaman religius pribadi yang kemudian melahirkan 
perilaku yang nyleneh hanyalah pembungkus yang dijadikan penguat oleh 
Ketib Anom untuk meyakinkan raja bahwa Mutamakkin telah ‘menyimpang’ 
dari syariat. “Kiai kok punya anjing, itu kan melanggar ajaran Nabi,” 
tegas Ketib Anom. 
Tapi
 teks Kajen berbicara lain. Pak Latif (41 tahun), salah seorang santri 
kiai Sahal Mahfudz bertutur bahwa anjing yang dimiliki Mutamakkin 
bukanlah anjing seperti pada umumnya, melainkan simbol pengendalian 
nafsu Mutamakkin sendiri. Konon, Mutamakkin pernah melakukan puasa 
selama 40 hari tanpa henti. Pada hari ke empatpuluh, Mutamakkin meminta 
istrinya untuk menghidangkan beberapa masakan yang enak dan lezat untuk 
berbuka. Ketika hidangan tersedia, Mutamakkin sendiri masih berusaha 
menahan nafsunya agar tidak tergoda oleh hidangan yang disediakan 
istrinya. Lalu ia memerintahkan istrinya untuk memborgol kedua tangannya
 supaya ia tidak bebas menyantap makanannya. Ketika itulah, pergulatan 
nafsu ingin makan dan keinginan mengendalikan diri menyebabkan nafsu 
“buruk” Mutamakkin keluar dari tubuhnya, menjelma menjadi dua anjing 
yang menghabiskan hidangan yang ada di depannya. Dan kemudian kedua 
anjing ini diberi-nama Kamaruddin dan Abdul Kahar, dua nama yang 
menyerupai nama penghulu dan khatib Tuban kala itu.
“Makanya
 orang Kajen sendiri, meskipun banyak mengikuti ajaran mbah Mad, tapi 
tidak ada yang ikut memelihara anjing. Karena itu bukan anjing biasa, 
bukan anjing seperti anjing-anjing yang suka berkeliaran itu. Anjingnya 
mbah Mad itu adalah penjelmaan nafsunya sendiri,” jelas pak Latif 
kemudian. Meskipun pendapat ini dibantah oleh Muhammad Zuhri yang 
mengatakan bahwa anjing Mutamakkin adalah anjing seperti anjing 
kebanyakan. Ia bukanlah ciptaan nafsu Mutamakkin. “Begini. Kiai 
Mutamakkin itu kan memiliki darah pembauran. Darah Cina seperti 
pendahulunya, yaitu Jinbun (Raden Patah). Nama lain Kiai Mutamakkin itu 
adalah So Gie. Jadi, sangat wajar kalau beliau itu memelihara anjing, 
karena beliau itu seorang Cina, budayawan, sekaligus tokoh spiritual,” 
tuturnya.
Masih
 menurut Zuhri, penyerupaan nama anjing Mutamakkin dengan nama penghulu 
Tuban itu lebih disebabkan oleh tidak amanahnya penghulu tersebut 
sebagai pengembang ajaran agama. Contoh, sang penghulu sebagai 
koordinator zakat, tetapi tidak pernah menyalurkan hasil zakat itu 
kepada fakir miskin. Maka, Mutamakkin mengatakan bahwa perilaku seperti 
itu sama saja seperti perilaku anjingnya yang sangat terlihat tamaknya,”
 lanjutnya.
Tapi, mungkin juga penamaan tersebut bukan sesuatu yang kebetulan. 
Tentu, siapa pun sulit untuk mencari alasan kuat yang menyebabkan 
Mutamakkin merasa penting mempertautkan penyerupaan nama tersebut, 
kecuali masyarakat Kajen yang memiliki tafsir tersendiri. Bercermin dari
 realitas masa kini, masyarakat Kajen seperti halnya Muhammad Zuhri pun 
berusaha menggambarkan keadaan masa lalu mengenai hubungan antara 
kelompok agama dan negara yang sudah berafiliasi menjadi satu entitas 
tunggal. Apa pun agamanya, masuk ke dalam wilayah kekuasaan seringkali 
menghilangkan kritisisme terhadap kekuasaan itu sendiri. “Ya kan 
kebanyakan orang pemerintahan itu begitu to, Mas. Perilakunya banyak 
yang memalukan. Bukan ngayomi, malah nyusahin banyak orang,” ujar pak 
Sholeh. Dengan demikian, anjing, versi lain menyebutkan singa, atau yang
 lain, oleh masyarakat Kajen justru dijadikan cambuk, kritik, dan 
sindiran bagi penguasa atau siapa pun yang merasa bijak mengurusi 
kelompoknya tapi kejam menyikap keperbedaan yang lain, seperti 
Mutamakkin yang sudah pasti bukanlah mainstream.
Pergeseran-pergeseran Mitis
“Dulu, ketika 
saya masih kecil, makam itu tidak ada kuncen-nya. Bahkan, tiap waktu 
saya juga bisa masuk ke dalam area makam,” kenang Imam Aziz. Aktifis 
yang kini giat mengurusi lembaga Syarikat Yogyakarta dan juga alumnus 
Madrasah Mathali’ul Falah ini mengenangkan bahwa ketika kecil ia memang 
hampir tiap hari ngaji dan sowan ke pesarean Mutamakkin. Ia pun ingat 
bagaimana tempat pesarean itu tidak eksklusif seperti sekarang yang 
hanya bisa dibuka untuk umum setiap hari Jumat.
Seperti layaknya kuncen di tempat-tempat lain, juru kunci pesarean 
Mutamakkin pun memiliki otoritas tersendiri ketika dihadapkan pada 
kenyataan-kenyataan tertentu. Ia dianggap sebagai sosok yang bukan hanya
 mampu menjembatani “pertemuan” peziarah dengan Mutamakkin, tetapi juga 
menjadi tokoh spiritual yang dianggap memiliki dan memberi barokah 
khusus. Bahkan, tidak sedikit orang yang datang berkunjung ke pesarean 
Mutamakkin juga sekedar bertemu dengan juru kunci untuk meminta obat 
bagi penyakit tertentu dengan menggunakan air yang terdapat di dalam 
kamar juru kunci. “Alhamdulillah, dengan perantaraan air ini, banyak 
sudah penyakit yang bisa disembuhkan,” tutur pak Sholeh. Bukan hanya 
itu, masyarakat seperti pak Sholeh atau juga pak Latief yakin bahwa pada
 saat-saat tertentu, khususnya ketika Kajen dan sekitarnya akan 
mengalami peristiwa besar, maka anjing Mutamakkin akan menyalak dengan 
kencang di malam hari yang suaranya bisa didengar oleh kebanyakan 
penduduk. Di samping itu, piring tempat makan Mutamakkin pun masih 
disimpan sampai sekarang dan hanya akan diperlihatkan pada hari khusus, 
tepatnya ketika haul Mutamakkin itu dilaksanakan. “Piring itu sempat 
gompal sedikit karena diperebutkan banyak orang untuk sekedar 
menciumnya. Untuk itu, sekarang piring itu hanya bisa dikeluarkan satu 
tahun sekali,” cerita pak Sholeh kepada DESANTARA. Kuncen, ”air suci”, 
jualan klambu, haul, atau ritual yang lain tentu merupakan bagian dari 
minat untuk menghadirkan pesona Mutamakkin agar terasa dekat dan bisa 
dirasakan oleh para generasi mutakhir.
Mungkin juga sulit untuk memberi penjelasan secara eksplisit tentang 
siapa yang memenuhi otoritas untuk melestarikan pesona mitis yang 
dibangun terus-menerus itu, karena di Kajen sendiri terdapat perdebatan 
tentang boleh-tidaknya sarana-sarana mitis seperti itu dibakukan. Mbah 
Dolah (KH Abdullah Salam), sebagai salah satu keturunan Mutamakkin yang 
cukup popular di kalangan ulama dan warga Nahdlatul Ulama (NU) juga 
dikabarkan tidak sependapat dengan berbagai ritus mitis yang dilakukan 
hanya untuk sekedar melestarikan arwah Mutamakkin.
Menurut Muhammad Zuhri, salah satu tokoh spiritual Kajen, 
ketidaksepakatan Mbah Dolah terhadap haul lebih disebabkan karena adanya
 perubahan haluan pemaknaan terhadap haul itu sendiri. “Dulu, haul itu 
dilestarikan oleh murid-muridnya karena sebagai medium untuk 
memanggungkan Dewaruci. Jadi haul sebagai media dakwah,” ujarnya. 
Sedangkan saat ini, haul lebih memunculkan nuansa mitis dibanding dengan
 pemunculan ide-ide dan kreatifitas pemikiran Mutamakkin. Meskipun 
demikian, keturunan Mutamakkin yang lain tetap bersikukuh pada pendirian
 untuk melakukan hal yang sebaliknya. Terlepas dari perdebatan para 
ahlul bait, yang jelas pesarean Mutamakkin telah menjadi legenda yang 
lestari. Dan dari kenyataan seperti ini semakin jelas pula bahwa 
penghadiran pesona Mutamakkin seolah-olah bukan hanya ingin dijadikan 
sebagai sebuah cerita yang hinggap di benak kepala-kepala individu, 
melainkan juga memiliki orientasi rekayasa sejarah di dalam dirinya.
Sejarah bukan hanya cerita, ia hampir pasti memerlukan dukungan 
berupa partisipasi aktif, pengetahuan, dan penyebaran nilai-nilai luhur 
yang turut memunculkan kebanggaan sekaligus kegemingan bahwa kisah 
tentang Mutamakkin lalu menjadi penting untuk dilanjutkan (ditradisikan)
 secara terus-menerus. Seiring dengan itu, lambat laun masyarakat 
semakin ketat dalam memperlakukan Mutamakkin. Sosok panutan itu disegel 
melalui ritual dan semakin beku dalam pola-pola penghormatan yang bukan 
hanya mitis, tetapi juga sakral. Anjuran berwudlu sebelum memasuki area 
pesarean hanyalah salah satu bagian dari gema wajib yang harus 
dilakukan. Asumsi suci menjadi landasan utama bahwa bertemu dengan 
Mutamakkin haruslah bersih lahir-batin. Akhirnya, wudlu pun menjadi 
ritus yang kental dengan pendisiplinan jiwa dan juga “ancaman” batin 
bahwa bagi siapa pun yang tidak berperilaku sopan dan merendahkan diri 
–dalam arti suci – maka Tuhan atau mungkin juga (roh) Mutamakkin sendiri
 akan murka. Sementara di sisi lain, dan juga pada saat bersamaan, para 
pedagang semakin berjejal di sekitar pesarean, tidak hanya sekedar 
meraup untung tetapi juga menyebarkan pengetahuan tentang pentingnya 
ulama kharismatik asal Cebolek itu untuk didatangi.
Menyambut Teks Kajen Meninggalkan Serat Cebolek
Tidak
 ada ketunggalan kisah yang menyebutkan dari mana Mutamakkin berasal. 
Ada yang mengatakan bahwa ulama yang satu ini berasal dari Persia, tapi 
ada juga yang mengatakan ia berasal dari Desa Cebolek, Tuban, Jawa 
Timur. Mutamakkin juga diyakini sebagai keturunan Sultan Hadiwijaya 
(Jaka Tingkir) dan Prabu Brawijaya VI, Raja Majapahit. Meskipun 
demikian, penjelasan ini tidak cukup mampu meringkas riwayat hidup 
Mutamakkin pada satu titik terang semacam curriculum vitae yang
 cukup detil. Satu hal yang hampir pasti adalah bahwa Mutamakkin pernah 
belajar beberapa tahun di Timur Tengah lalu bertolak ke tanah Jawa. 
Kedatangannya di Kajen pun njebul melek (asal kalimat dari nama
 Cebolek, yang artinya muncul secara tiba-tiba lalu membuka mata). 
Setelah melakukan pengembaraan ke beberapa tempat, akhirnya Mutamakkin 
menetap di Kajen dan melakukan berbagai aktifitas keagamaan, termasuk 
berdakwah dan menerima beberapa murid yang di antaranya adalah Kiai 
Ronggokusumo, Kiai Mizan, dan Raden Sholeh (keturunan Ki Ageng Selo).
Apa 
yang menarik dari kisah Mutamakkin ini adalah kontroversi, stereotip 
yang kentara dikukuhkan oleh Yasadipura I di dalam salah satu karyanya 
yang cukup terkenal, Serat Cebolek. Karya ini sangat menarik 
karena di dalamnya terdapat tuturan yang berkisah tentang usutan Ketib 
Anom dan ulama lain terhadap kepercayaan Mutamakkin. Seperti halnya 
Jenar, Mutamakkin pun dianggap mengajarkan ilmu mistik. Awalnya, usutan 
ulama yang diwakili oleh Demang Urawan sempat ditampik Prabu Amangkurat 
IV, raja Kartasura kala itu. “Jangan begitu. Meskipun wajah Mutamakkin 
itu tidak rupawan, tapi hatinya suci. Ini suratan takdir, Demang. Ia 
adalah pilihan penjaga suksma,” ujar sang prabu sebagaimana tersurat 
dalam Serat.
Tentu, 
Demang Urawan tersungut, terlebih-lebih Ketib Anom. Konon, ia tetap 
mengajukan protes kepada sang raja hingga akhirnya ia diijinkan untuk 
menggelar pengadilan khusus membahas masalah Mutamakkin. Seketika Demang
 Urawan mengundang Mutamakkin ke keraton. Tapi di tengah perjalanan, 
terdengar kabar bahwa raja Amangkurat IV mangkat sehingga pengadilan 
atas Mutamakkin tertunda. Setelah tampuk kekuasaan diserahkan kepada 
Pakubuwono II, Ketib Anom tetap mendesak raja baru untuk kembali 
menindaklanjuti perkara lama yang sempat tertunda. Lagi-lagi, Mutamakkin
 kembali diundang yang ia penuhi dengan tenang. Mutamakkin tahu bahwa 
Ketib Anom telah mempersiapkan hukuman bakar baginya, tapi ia sama 
sekali tidak takut. Bahkan, Mutamakkin sendiri berujar bahwa seandainya 
dirinya meninggal karena dibakar, ia justru berharap asapnya bisa 
terbang sampai ke Yaman dan bisa dicium oleh gurunya, Syeikh Zen.
Yasadipura I bertutur bahwa di hadapan Ketib Anom dan beberapa ulama yang lain, Mutamakkin diuji untuk membacakan kitab Dewaruci
 yang kesohor dan menjadi salah satu kitab kebanggaan Mutamakkin. Tapi 
Mutamakkin tidak mampu merampungkan bacaannya lalu dicemooh oleh Ketib 
Anom. Mujur, Pakubuwono II masih mengampuni Mutamakkin dengan alasan 
bahwa ajaran Mutamakkin adalah laku pribadi dan tidak disebarkan untuk 
publik sehingga ia tidak pantas dihukum. 
Lain halnya dengan tuturan teks Kajen. Masyarakat sekitar memiliki versi lain, bahwa yang tidak mampu membaca kitab Dewaruci
 adalah Ketib Anom sendiri hingga akhirnya meminta bantuan Mutamakkin 
untuk merampungkan dan memberi penjelasan tentang kisah yang dimuat di 
dalamnya. Mendengar penjelasan Mutamakkin, akhirnya Ketib Anom sadar 
bahwa dirinya tidak sebanding dengan kemampuan Mutamakkin, bahkan 
Pakubuwono II sendiri akhirnya menyatakan diri sebagai murid Mutamakkin 
dan memberi hadiah ulama Cebolek itu untuk menikahi adik Pakubuwono II.
Berkiblat pada tuturan teks Kajen inilah Milal Bizawie (2002) menyimpulkan bahwa fenomena Mutamakkin di dalam Serat Cebolek merupakan kreasi kaum (ulama) elit penjaga syariah sekaligus sebagai cermin dari hegemoni agama keraton, semacam textual politik, demikian
 ujar Goenawan Mohamad (2002). Untuk itu, penafsiran yang dimunculkan di
 Kajen seyogyanya diapresiasi sebagai kreatifitas lokal atau resistensi 
kultural terhadap gempuran wacana yang diisi, disebarkan, dan diikat 
oleh kelompok yang untuk sementara menduduki kursi kekuasaan. Tampaknya,
 masyarakat pun menyadari bahwa perlawanan bukan berarti harus 
mengamandemen teks yang tersurat di dalam Serat Cebolek yang 
sudah barang tentu tidak akan efektif, melainkan dengan menghadirkan 
kisah lain yang cukup dipedomani sebagai diktat. Alih-alih muncul 
kontroversi, tapi yang jelas dan sampai saat ini masih menyisakan jejak 
adalah konsistensi masyarakat Kajen yang senantiasa berbondong-bondong 
masuk, mampir di pesarean, ngaji, bersimpuh ngalap berkah dengan yakin bahwa Mutamakkin adalah anak zaman yang harus diuri.
“Saya memang membaca Serat Cebolek dan beberapa hasil tulisan orang tentang serat ini.
 Tapi saya tidak pernah menjadikannya sebagai pisau analisis untuk 
membaca Mutamakkin. Bagi saya tulisan-tulisan itu hanyalah data-data 
sejarah yang cukup dijadikan referensi, sementara yang lebih penting 
adalah realitas saat ini,” ujar Muhammad Zuhri.
Dengan 
demikian, memaknai dan memahami Mutamakkin tidak cukup dengan mengamini 
tafsir tunggal Yasadipura I. Tentu, bukan hanya apa yang secara jelas 
tersurat di dalam naskah kuno itu yang penting untuk dikaji atau proses 
kreatif sang penulis yang menarik untuk dicermati melainkan juga apa 
yang saat ini telah menjadi realitas umum yang mengemuka di dalam 
kehidupan sehari-hari masyarakat Kajen. Serat Cebolek hanya 
satu versi yang saat ini tidak lagi berdiri sendirian sebagai pengemban 
mitos yang tidak bisa dibantah. Di sana terdapat tuturan lain, yang 
sudah tentu beda tapi sangat inspiratif untuk dijadikan tempat mengadu 
bahkan menyelesaikan kerisauan hati. 
Dan mungkin, inilah konteks dimana fenomena Mutamakkin dalam teks Kajen adalah realitas tentang yang aneh, lokal, dan spesifik yang memiliki daya tolak kreatif ketika diperhadapkan dengan kekuatan mainstream
 yang cenderung ingin menggerus kekuatan pinggiran. Dan ketika 
pergulatan ini semakin menemukan bentuknya dalam pemahaman keseharian 
masyarakat, maka kabar dari Serat Cebolek yang banyak 
mengundang perhatian para peneliti itu menjadi absurd meskipun pada saat
 yang sama, Mutamakkin yang dikabarkan pengagum Dewaruci itu 
pun semakin surut dalam pesona yang dibangun dan diabadikan oleh 
generasi masa kini yang mudah-mudahan tidak tenggelam dalam kekaguman 
yang semata-mata mitis. Tentunya ada rasa khawatir. Ketika keabadian 
Mutamakkin hanya disandarkan pada ritual 10 Muharram dan 
ditakjubkan sedemikian hebat, maka ia akan berakhir pada pemberhalaan 
yang mungkin mengesankan tapi tidak lebih dari sebuah konstruksi. 
Sementara peran dan kiprahnya sebagai sosok atau tokoh simbolik – 
meminjam istilah Bizawie – “perlawanan kultural agama rakyat” semakin 
luntur dari ingatan.